Minggu, 04 April 2010

Potensi wisata Pemandian Air Panas Soa dan Kampung Megalit Bena

Pemandian Air Panas Mengeruda dan Kampung Megalit Bena

Setelah berwisata ke Riung, umumnya para wisatawan melannjutkan perjalanan menuju pemandian air panas Mengeruda di Soa yang terletak kurang lebih 50 km dari Riung ke arah Selatan pada ketinggian kurang lebih 1000 meter di atas permukaan laut. Pemandian air panas Mengeruda adalah salah satu pemandian air panas yang timbul secara alami dari tanah yang rata dengan suhu rata-rata 30-0 derajat Celcius.

Wisatawan asing yang masuk dipungut bayaran Rp 2.500 per orang. Wisatawan domestik Rp 1.000 per orang. Para wisatawan yang datang ke situ umumnnya berendam sepanjang hari di air yang sedikit mengandung belerang itu. Sore harinya mereka melanjutkan perjalanan. Umumnya ke Bajawa, ibukota Kabupaten Ngada yang berudara sangat dingin karena terletak pada ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut.

Pada awalnya, pemandian air panas Mengeruda adalah pemandiang alam bagi para petani di sekitarnya yang telah lelah bekerja seharian di ladang. Sebelum pulang ke rumah mereka merendamkan diri di situ sehingga segar kembali. Dengan biaya milyaran rupiah saat ini Mengeruda dipagar tembok. Sumber air yang tumbuh juga dikitari tembok yang tinggi, tetapi alur sungai yang mengalir tetap dibiarkan secara alami. Di situlah para petani dan wisatawan berendam. Dengan biaya yang tak sedikit juga dibangun kolam renang yang airnya dialirkan dari sumber air panas. Tetapi belum terpakai, kolam renangnya sudah karatan oleh belerang dan mineral sehingga tampak seperti kubangan kerbau. Mungkin tadinya Pemda Ngada berniat membuat spa namun apa daya tak bisa direalisasikan.

Sejak bulan Januari sampai bulan September, wisatawan yang berkunjung ke Mengeruda hanya 200 orang. Bandingkan dengan Riung yang dikunjungi 2600 orang wisatawan. Kolam renang yang dibangun mubazir karena para wisatawan asing dan domestik beserta petani memilih mandi atau berendam diri di sungai air panas yang mengalir. Saat ini masyarakat di skitar sumber air panas itu resah atau cemas kalau kelak Pemda tidak memperkenankan lagi para petani masuk ke sumber air panas yang menjadi milik mereka karena telah dipagar tembok keliling dengan aristektur Bali. Atau mereka khawatir kalau mereka yang miskin itu juga harus membayar masuk untuk mandi di sumber air panas mereka sendiri. Karena pengelolaan air panas itu langsung dikelola oleh Pemda.

Para wisatawan yang sudah puas berendam di Mengeruda umumnya menuju Bajawa atau melanjutkan perjalanan ke objek-objek wisata lainnya di Flores. Para wisatawan asing umumnya merasa belum lengkap kalau sudah berada di Kabupaten Ngada tetapi belum mengunjungi Kampung Megalit Bena yang terletak di selatan kaki gunung berapi Inerie atau selatan Kota Bajawa. Jarak Bajawa - Bena kurang lebih 20 km. Untuk mencapai Bena bisa dengan menumpang kendaraan umum seperti truk pengangkut penumpang dan barang menuju pantai Selata atau mencarter angkutan kota (angkot) dengan harga Rp 350.000 per hari. Tidak ada bus yang menuju ke Bena karena harus melalui jalan yang meliuk-liuk di lereng terjal.

Di Bena, para wisatawan menyaksikan kampung megalit yang sudah berabad-abad usianya. berbincang-bincang dengan warga Bena tentang budaya hidup mereka yang menganut sistem matrilineal atau mencoba memahami bagaimana orang Bena hidup secara damai, sehat, berusia panjang, kokoh dengan budayanya tanpa terpengaruh materialisme dan kehidupan sekuler tetapi tidak menolak pendidikan. Tak heran sehingga beberapa anak orang Bena ada yang mencapai gelar Doktor dan menjadi pilitis lokal namun tetap bangga menjadi orang Bena. Di Bena, para wisatawan juga banyak menggali informasi mengenai bagaimana stratifikasi sosial murni masyrakat Bena dan sistem kepemimpinannya serta tata tertib kehidupan bermasyarakat yang mereka anut dan patuhi secara tulus.

Sebenarnya para wisatawan itu masih ingin berlama-lama di Bena yang menjadi pusat dari 9 suku besar yang tersebar di seluruh Kabupaten Ngada. Tetapi di situ tidak ada warung makan, tidak ada toilet yang memadai, juga penginapan yang layak sehingga para turis yang datang ke Bena umumnya hanya berada di Bena paling lama selama 3 jam. Penduduk Kampung Bena juga mengeluh karena pemerintah memungut karcis Rp 2.500 rupiah per orang sejauh ini belum membangun air minum bersih untuk penduduk Bena sehingga mereka tidak memiliki kamar mandi dan WC yang baik dan bersih. Tetapi sebagai kampung megalit yang masi hutuh, Bena tetap menjadi salah satu kampung megalit yang unik bagi para wisatawan asing dan domsetik.


MATA AIR PANAS MENGERUDA
--------------------------
Aktifitas vulkanik di kawasan Ngada menghadirkan lokasi pemandian air panas, yaitu Mata Air Panas Mengeruda di Soa, dengan kelengkapan sarana umum yang bersih. Sumber air panasnya pun telah dibangun berbentuk kolam nyaman untuk berendam, dinaungi pohon-pohon rindang.

Air dari kolam tersebut disalurkan menuju sungai di bawahnya, sehingga menimbulkan air terjun kecil berair hangat, campuran air sungai dengan air panas dari kolam. Nikmati ‘guyuran’ air terjun ini sembari duduk-duduk di bebatuan sungai. Seru sekali! Tiket masuknya hanya Rp.1.000,- per orang, plus biaya parkir sebesar Rp.1.000,- per kendaraan.



KAMPUNG MEGALITIK BENA
--------------------------
BENA adalah nama sebuah perkampungan tradisional yang terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Ngada. Desa ini terletak di bawah kaki Gunung Inerie sekitar 13 km arah selatan Kota Bajawa. Perkampungan adat ini terkenal karena keberadaan sejumlah bangunan megalitik yang dimiliki dan tata kehidupan masyarakatnya yang masih mempertahankan keaslian perkampungan tersebut.

Kampung adat Bena terletak tepat di lereng Bukit Inerie yang agak menonjol. Warga setempat menyebut tempat ini seperti berada di atas kapal karena bentuknya memanjang seperti perahu. Konon menurut cerita yang dipercaya secara turun temurun, pada zaman dahulu sebuah kapal besar pernah terdampar di atas lereng gunung itu. Kapal itu tidak bisa berlayar lagi dan terus terdampar sampai akhirnya air surut dan menjauh dari tempat itu. Bangkai kapal kemudian membatu dan di atasnya kemudian digunakan masyarakat setempat sebagai lokasi perkampungan.

Perkampungan Bena mempunyai daya tarik sendiri bagi para wisatawan karena bangunan megalitik berupa susunan batu-batuan kuno. Tidak ada yang mengetahui secara pasti siapa yang mendirikan bangunan megalitik tersebut, namun masyarakat setempat percaya kalau bebatuan tersebut disusun seorang diri oleh seorang lelaki perkasa bernama Dhake.

Menurut warga setempat, suatu waktu datanglah sekelompok orang dan membangun sebuah perkampungan di tempat tersebut yang kemudian diberi nama Bena. Uniknya, di antara mereka ada seorang lelaki bernama Dhake yang bertekad ingin menciptakan sebuah kampung yang agung dan indah. Maka timbulah gagasan dalam benaknya untuk merancang perkampungan itu dengan menyertakan batu-batu besar sebagai hiasannya.

Terdorong oleh gagasannya itu, ia kemudian pergi ke Pantai Aimere yang berjarak sekitar seratus kilometer dari perkampungan Bena. Dari sana ia mengambil batu-batu besar berbentuk lempengan panjang atau pun meruncing, lalu dipikulnya hingga ke Bena. Batu- batu itu kemudian disusun sedemikian rupa, ada yang berdiri dan ada pula yang dibiarkan mendatar. Sususan batu-batu itulah yang saat ini dikenal dengan megalit.

Para tamu yang berkunjung akan melihat dengan jelas apa yang dimaksud dengan megalit itu. Bentuknya sederhana berupa susunan batu-batu yang teratur dan berada tepat di tengah perkampungan. Pada batu megalit ini terlihat jelas bekas telapak kaki yang diyakini masyarakat setempat adalah telapak kaki milik Dhake. Menurut cerita, pada saat membangun kampung Bena ini, batu-batu yang dipikul Dhake dari Aimere, masih lembek dan tidak sekeras yang sekarang ada sehingga bekas tapak kaki Dhake nampak jelas di atas batu.

Para pengunjung yang datang ke tempat ini akan menemukan jejeran rumah-rumah penduduk yang masih sangat tradisional dan terletak saling berhadapan. Rumah-rumah adat yang sering disebut peo ini, terbuat dari papan berbentuk panggung, beratap alang-alang dipadukan dengan dinding bambu pada teras depan yang berukuran sekitar 10 kali 10 meter. Di bagian tengah kampung terdapat monumen adat yang dibangun seperti lopo (madhu) dan sebuah rumah kecil yang disebut bhaga. Kedua bangunan ini oleh masyarakat setempat dianggap sebagai simbol pemersatu dari suku yang menempati perkampungan itu.

Masyarakat setempat benar-benar bertekad untuk mempertahankan keaslian perkampungan tersebut. Semua rumah dibangun menyerupai rumah adat dan tidak diizinkan membangun rumah dengan campuran yang bergaya modern. Listrik pun tidak diizinkan sehingga untuk penerangan hanya digunakan lampu pelita. Hal ini sengaja dikondisikan untuk mempertahankan citra perkampungan adat tersebut sesuai sejarah pembangunannya. Masyarakat kampung Bena umumnya ramah terhadap pengunjung, dimana setiap pengunjung yang datang pasti disambut dengan senyuman, sebagai sapaan. Kita bisa bertanya-tanya tentang budaya yang mereka miliki dan dengan sangat baik akan dijelaskan kepada kita perihal budaya setempat.

Kepala Desa Tiworiwu, Kasimirus Siga, ketika ditemui di ruang kerjanya, Jumat (19/4) menjelaskan, kunjungan wisman ke daerah ini tercatat sempat terjadi lonjakan pada tahun 1997, dimana jumlah wisatawan yang berkunjung mencapai 5.000 orang lebih. Artinya dalam sehari sekitar 10 atau 11 orang wisatawan manca negara datang ke Kampung Bena. Jumlah ini dirasakan mulai mengalami penurunan drastis menyusul krisis multidimensi yang melanda Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Sementara jumlah penduduk kampung mencapai 200-an jiwa yang tinggal di 45 rumah adat.

Di sana juga terdapat sebuah kapela dan tiga homestay yang dibangun seperti rumah adat namun saat ini sudah dalam kondisi rusak dan tidak dipakai lagi. Pekerjaan pokok masyarakat Bena adalah bertani, sementara kaum perempuan banyak membuat kerajinan tangan seperti sarung dan sebagainya untuk ditawarkan sebagai cindera mata kepada pengunjung.

Yang disesalkan, demikian kades, warganya belum bisa memanfaatkan kunjungan para wisatawan dengan menyediakan fasilitas berupa penginapan kepada para turis, karena banyak turis yang ingin bermalam untuk menikmati suasana perkampungan adat pada malam hari atau pun ingin mengenal lebih dekat menyangkut budaya dan adat setempat. Masyarakat di sini masih miskin, sehingga sulit membangun penginapan, seperti hotel atau losmen misalnya. Padahal sesungguhnya memang harus begitu, supaya tidak dibiarkan para turis itu harus segera pulang ke Bajawa, kata Siga.

Manfaat kunjungan wisatawan yang selama ini dirasakan barulah dari perolehan retribusi atau karcis masuk sebesar Rp 2.500/pengunjung, dimana hasil dari penjualan karcis itu, 50 persen diperuntukan bagi pemerintahan desa, 30 persen diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan 20 persen dipakai untuk biaya rehab pekampungan adat. Padahal kalau dicermati, sebenarnya untuk membangun perkampungan ini membutuhkan biaya miliaran rupiah. Selama pekerjaan sebuah rumah adat, setiap hari harus potong satu ekor babi sampai pekerjaan selesai. Belum lagi pengadaan bahan-bahan bangunan, cerita Andreas Bolo, warga Kampung Bena

PETA NGADA